Skip to main content

Sengketa antara Mustolih dan PT Sumber Alfaria Trijaya (PT SAT)

   Foto ilustrasi PT Sumber Alfarian Trijaya Pengadilan Negeri Tangerang, pada dasarnya adalah sengketa yang terkait dengan perlindungan konsumen. Mustolih adalah seorang konsumen yang berbelanja di Alfamart, sebuah toko yang dikelola PT SAT. Sedangkan PT SAT adalah pelaku usaha di bidang ritel. Baik Mustolih maupun PT SAT, keduanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.  Pertanyaan : Terkait kasus tersebut bahwa didalam perlindungan konsumen terdapat dua istilah hukum, yakni hukum konsumen ( consumer law ) dan hukum perlindungan konsumen ( consumer protection law protection law protection law ) merupakan bidang hukum baru dalam akademik dan praktik penegakan hukum di Indonesia (Shofie, 2011). Menurut analisis Anda, apakah sama hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen jika keduanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan mengapa dua bidang hukum tersebut sulit untuk dipisahkan! Berdasarkan

UNDANG UNDANG NO 36 TAHUN 1999


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 1999

TENTANG

TELEKOMUNIKASI


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila da Undang-Undang Dasar 1945;

b bahwa penyelenggara telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuaan bangsa,memperlancar kegiatan pemerintahan,mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,serta meningkatkan hubungan antar bangsa;
c bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang tehadap telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yan berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut,perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggara telekomunikasi nasional;
e bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas,maka Undang-undang No.3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi,sehingga perlu diganti;
Mengingat:   Pasal 5 ayat (1),Pasal20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,adil dan merata,kepastian hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN

Pasal 4

(1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,pengaturan,pengesaan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan,pengaturan,pengawasan dan pengendalian dibidang telekomunkasi,sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5

(1)  Dalam rangka pengembangan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berupa menyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah perkembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan,pengaturan,pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
(3) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
(4)  Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang telekomunikasi,asosiasi profesi telekomunikasi,asosiasi produsen peralatan telekomunikasi,asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
(5) Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaiman dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN

Bagian Pertama 
Umum
Pasal 7

(1)  Penyelenggara telekomunikasi meliputi :
a.  penyelenggara jaringan telekomunikasi;
b.  penyelenggara jasa telekomunikasi;
c.  penyelenggara telekomunikasi khusus
(2)  Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.  melindungi kepentingan dan keamanan Negara;
b.  mengantisipasi perkembangan teknologi dan tututan global;
c.  dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d.  peran serta masyarakat.
Bagian Kedua 
Penyelenggara
Pasal 8

(1)  Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b,dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yaitu:
a.  Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.  Badan usaha swasta; atau
d.  Koperasi
(2)  Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c,dapat dilakukan oleh :
a.  Perseorangan;
b.  instansi pemerintah;
c.  badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9

(1)  Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud daalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelengggarakan jasa telekomunikasi.
(2)  Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3)  Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal8 ayat (2) dapat menyelenggaarakan telekomunikasi untuk:
a.  keperluan sendiri;
b.  keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c.  keperluan penyiaran;
(4)  Penyelenggara telekomunikaasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,terdiri dari penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan :
a.  perseorangan;
b.  instansi pemerintah;
c.  dinas khusus;
d.  badan hukum.
(5)  Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktik Monopoli
Pasal 10

(1)  Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
(2)  Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1)  Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat iziz dari Menteri.
(2)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a.  tata cara yang sederhana;
b.  proses yang transparan, adil,dan tidak diskriminatif;serta
c.  penyelesaian dalam waktu yaang singkat.
(3)  Ketentuan meengeeenai perizinan penyelenggara telekmunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak and Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1)  Dalam rangka pembangunan,pengoperasian,daan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi,penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara da atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2)  Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau banguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku pula terhadap sungai,danau,atau laut,baik permukaan maupun dasar.
(3)  Pembangunan,pengoperasian dan atau pemelihaaran jaringan telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1),dilaksanakan setelaah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan,pengoperasian atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan diantara para pihak.
Pasal 14
Setiap peengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1)  Atas kesalahan dan atau kelallaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian,maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
(2)  Penyelengga telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),kecuali penyelenggara telekomunikassi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalaahan dan atau kelalainya.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara peengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1)  Setiap penyelenggara jaringa telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2)  Kontribusi pelayanan universal sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3)  Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a.  perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b.  meningkatkan efisiensi daalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c.  pemenuhan standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
(1)  Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikassi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi
(2)  Apabila pengguana memerlukan catataan/rekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3)  Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,penyaluran ,dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :
a.  keamanan negara;
b.  keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c.  bencana alam;
d.  marabahaya dan atau
e.  wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum,kesusilaan,keamanan,atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a.  akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b.  akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c.  akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1)  Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan penomoran
(2)  Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan penomoran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1)  Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2)  Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3)  Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)di lakukan berdasarkan prinsip :
a.  pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b.  keserasian sistem dan perngkat telekomunkasi;
c.  peningkatan mutu pelayanan; dan
d.  persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4)  Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi,hakdan kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 26
(1)  Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggara telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan.
(2)  Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan tarif penyelenggara jasa telekomunikasi di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besarnya tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1)  penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b,dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2)  Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) huruf c dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
(1)  Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses didaerah tertentu,maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2)  Dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),maka penyelengara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3)  Syarat-syarat untuk mendapat izin sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1)  Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2)  Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi
Spektrum,Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit

Pasal 32
(1)  Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan ,dibuat ,dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)  Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1)  Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapat izin Pemerintah.
(2)  Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3)  Pemerintah melakukan pengawasan da pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4)  Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1)  Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi,yang besarnya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2)  Penggunaan orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3)  Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1)  Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan diwilayah perairan Indonesia,tidak diwajibkan memenuhi kewajiban persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
(2)  Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya ,kecuali :
a.  untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b.  disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang disambungkan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c.  merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3)  Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1)  Perangkat telekmunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan kewilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2)  Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia diluar peruntukannya, kecuali :
a.  untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau
b.  disambungkan kejaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c.  merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3)  Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 39
(1)  Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2)  Ketentuan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi,penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1)  Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan.
(2)  Untuk keperluan proses peradilan pidana,penyelenggara telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a.  permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b.  permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara perekaman dan permintaan rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 42 ayat(2) tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1)  Selain penyidik Pejabat Polisi Republik Indonesia,juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang telekomunikasi,diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
(2)  Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
c.  menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d.  memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e.  melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f.  menggeledah tempat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaita dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i.  mengadakan penghentian penyidikan.
(3)  Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26 ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1)  Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2)  Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)  Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)  Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
 

www.kemenkumham.go.id/

Comments

Popular posts from this blog

SISTEM PENGGAJIAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap organisasi khususnya perusahaan memerlukan data yang bersifat riil dari setiap tingkatan manajemennya. Data tersebut disusun dan dikelola dalam sebuah sistem informasi. Salah satu sistem informasi terpenting pada perusahaan adalah Sistem Informasi Sumber Daya Manusia/Human Resourches Information System (SISDM/HRIS). Setiap perusahaan besar pastilah memiliki sistem informasi sumber daya manusia (human resource information system) dan juga Sistem Penggajiannya. Sistem sumber daya manusia membantu bisnis dalam mengembangkan susunan kebutuhan kepegawaian, mengidentifikasi potensi- potensi karyawan baru, menyimpan arsip karyawan, menjejaki pelatihan, keterampilan, dan prestasi kerja karyawan, dan membantu para manajer mengembangkan rencana yang sesuai dengan kompensasi dan pengembangan karir karyawan. Sistem perusahaan dapat membantu bisnis untuk mengkoordinasi susunan kepegawaian mereka dengan aktivitas produksi dan penjualan dan sumber

Metode Simple Additive Weighting (SAW)

Konsep dasar metode Simple Additive Weighting (SAW) adalah mencari hasil terbaik dari proses normalisasi sesuai dengan persamaan (rumus) Simple Additive Weighting (SAW) dengan kriteria yang ada pada setiap alternatif untuk ditentukan alternatif terbaik. Persamaan (rumus) untuk melakukan normalisasi tersebut adalah sebagai berikut :   Dimana rij adalah rating kinerja ternormalisasi dari alternative A 1 pada atribut C j ; i=1,2,……,m dan j=1,2,……,n. nilai preferensi untuk setiap alternatif (V i ) diberikan sebagai : Keterangan : Vi        = rangking setiap alternatif. Wj       = nilai bobot dari setiap kriteria Rij        = nilai rating kinerja ternormalisasi Nilai Vi yang lebih besar mengindikasikan bahwa alternatif Ai lebih terpilih.     Kelebihan dari   Metode SAW 1.       Menentukan nilai bobot untuk setiap atribut kemudian dilanjutkan dengan proses perankingan yang akan menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif. 2.       Penil

MODEL-MODEL-PENGEMBANGAN-PERANGKAT-LUNAK

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Pengembangan sistem informasi dalam kurun waktu kini sungguh sangat pesat. Di hampir setiap perusahaan selalu melakukan perbaikan, inovasi, dan evaluasi terhadap sistem informasi yang ada di dalam perusahaan tersebut, agar selalu mendukung bisnis-bisnis yang mereka jalankan.Dengan memanfaatkan kemampuan dari sistem informasi, diharapkan perkembangan bisnis semakin maju dan dapat menaikkan pendapatan dari perusahaan. Pengembangan perangkat lunak dapat diartikan sebagai proses membuat suatu perangkat lunak baru untuk menggantikan perangkat lunak lama secara keseluruhan atau memperbaiki perangkat lunak yang telah ada. Agar lebih cepat dan tepat dalam mendeskripsikan solusi dan mengembangkan perangkat lunak, juga hasilnya mudah dikembangkan dan dipelihara, maka pengembangan perangkat lunak memerlukan suatu metodologi khusus. Metodologi pengembangan perangkat lunak adalah s