Apakah tindakan korupsi murni merupakan kesalahan si pelaku tindak pidana tersebut, ataukah ada andil dari luar si pelaku (seperti keluarga, kerabat, lingkaran pertemanan, lingkungan kerja atau yang dikenal dengan istilah korupsi berjama’ah, tuntutan atasan, dan lain sebagainya), yang juga turut andil dalam mendorong terjadinya bentuk kejahatan yang selalu merugikan negara ini.
Korupsi masih menjadi problem di negara-negara berkembang hingga saat ini. Korupsi memang sudah menjadi budaya di negara-negara berkembang dan sangat sulit diberantas. Untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata juga sangat banyak hambatannya. Sehingga bagaimanapun kerasnya usaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara ternyata korupsi juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan. Bahkan bisa dinyatakan bahwa korupsi tidak akan pernah bias untuk dihilangkan.
Sejarah korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal relasi sosial berbasis uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, semakin canggih pula pola dan model korupsi.
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan social masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change.
Onghokham (1983) telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut dia fenomena korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajAan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/ kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang massif yang menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian inheren bagi hampir semua negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat melalui rezim Developmentalist (Uhar Suharsaputra, , akses 23 Juli 2013).
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Korupsi yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya murni perilaku yang menyimpang dari orang tersebut, akan tetapi faktor eksternal yang mempangaruhi sangat besar, mulai dari lingkungan bekerja, tuntutan atasan, bahkan tidak jarang dalam praktek korupsi yang telah berhasil di bawa ke pengadilan menemukan fakta bahwa kejahatan tersebut dilakukan atas perintah langsung dari atasan. Tak jarang pula tindak pidana korupsi itu telah dilakukan dari mulai tahap perencanaan dari suatu program pemerintah.
Faktor Penyebab Suburnya Prilaku Korupsi
1. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
ultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d.Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
2. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaannya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi.
Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.
Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan
Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Pelaku yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam tindak pidana tersebut karena melakukan tindakan yang tidak mengindahkan moral dan etika, serta melanggar hukum. Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat mendorong terjadinya korupsi, seperti banyaknya kebutuhan, ketidaktahuan tentang konsekuensi atas tindakan koruptif, tuntutan atasan yang bisa mempengaruhi bahkan memberikan tekanan dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam hal melakukan penyelewengan wewenang atas jabatan penyelenggara negara.
Sebagai contoh dari beberapa fakta persidangan para pelaku tindak pidana korupsi bahwa pejabat terjerat korupsi karena adanya tekanan dari atasan atau lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan atau hobi yang membutuhkan dana besar. Mereka bersekutu dengan orang-orang lain yang memegang posisi strategis dalam suatu instansi sehingga melakukan tindakan koruptif secara berjama'ah.
Dalam hal jaringan pertemanan yang mempengaruhi tindakan koruptif, ada banyak orang yang terjerat korupsi karena ingin mempertahankan gaya hidup yang mewah dan berlimpah harta. Mereka tidak bersalah sendirian tetapi juga terkena pengaruh dari lingkungan dan teman-teman yang mengagungkan gaya hidup mewah dan berlimpah harta.
Seseorang mungkin menjadi korup karena faktor-faktor tersebut atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang seperti tekanan dari keluarga atau lingkungan sekitar walaupun terdapat faktor-faktor pendorong korupsi, pelaku korupsilah yang harus bertanggung jawab karena melakukan tindakan yang tidak mengindahkan moral dan etika, serta melanggar hukum.
Seperti ungkapan Prof. Dr. Mahfud MD, bahwa prilaku korupsi itu sudah mengakar budaya disemua lini kehidupan bernegara bahkan mulai dari perencanaan anggaran sudah dilakukan markup yang luar biasa. Semua lini dari penyelenggara negara sudah pernah terbukti dipersidangan melakukan tindak pidana korupsi mulai dari pejabat di Lembaga legislatife, eksekutif, yudikatif, bahkan kekuasaan yang berfungsi untuk memeriksa keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Saat ini semakin gilanya perilaku korupsi sampai-sampai instansi yang memberantas tindak pidana korupsi pun ketuanya telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi yaitu pemerasan terhadap penyelenggara negara.
Dari uraian diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa tindakan korupsi bukan hanya murni kesalah pelaku tindak pidana tersebut, meskipun pelaku yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi adalah pihak yang paling bertanggung jawab, akan tetapi faktor-faktor eksternal yang mendorong dan mempengaruhi untuk melakukannya.
Darmawan, M. Kemal. 2022. Teori Kriminologi Edisi Ke-3. Banten. Universitas Terbuka.
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang:Bayumedia.
Adnan Buyung Nasution, dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Yogyakarta. Aditya Media.
Denny Indrayana. 2008. Negeri Para Mafioso, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Edi Setiadi&Rena Yulia. 2010. Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jur Andi Hamzah. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta:Sinar Grafika.
Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, H. Lindsey Parris. 2005.Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Syed Husein Alatas. 1983.Sosiologi Korupsi. Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta:LP3ES.
Demikian
Comments
Post a Comment