DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara Indonesia
yang memiliki angka pluralitas kependudukan akan etnik, agama, ras, golongan
dan kepentingan yang tinggi sehingga menjadikannya sangat rentan terhadap
konflik. Tawuran merupakan salah satu konflik budaya yang disebabkan oleh
beberapa kondisi objektif yang dihadapi masyarakat. Salah satu fenomena yang melekat dengan
Manggarai adalah aksi Tawuran. Menurut Clinard & Quinney (1967) tawuran
termasuk ke dalam ranah kejahatan kekerasan yang dilakukan secara berkelompok
dalam beberapa tahun terakhir tawuran yang terjadi di Manggarai telah tercatat
sebanyak 9 (sembilan) kali.
Tindakan tawuran tidak mengambarkan manusia
sebagai makhluk yang beradab yang dibuktikan melalui adab memiliki arti sopan.
Perspektif ilmu sosial dan budaya dasar mengatakan bahwa manusia yang beradab
ialah manusia yang berlaku sopan, berakhlak serta berbudi pekerti luhur. Selain
itu, terdapat konsepsi berupa masyarakat beradab yang dikenal dengan masyarakat
madani atau civil society. Masyarakat yang beradab memiliki karakteristik
keterbukaan, toleransi, mengedepankan musyawarah, egalitalianisme serta
mematuhi penegakan hukum dan keadilan. Mengenai fenomena tawuran telah
dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh lembaga Pemerintahan maupun non-pemerintahan
serta dibahas melalui perspektif nilai dan moral. Terdapat perspektif yang
menyatakan aksi tawuran merupakan tindakan kejahatan sehingga melahirkan
konstruksi pemaknaan dari tawuran itu sendiri.
KPAI menilai bahwa tawuran yang terus menjadi
tradisi hingga saat ini menimbulkan sebuah pembahasan yang sangat menarik.
Pelaku pasti memiliki alasan yang melatarbelakangi keberlanjutan tradisi
tawuran. Daripada menyalahkan anak atas perbuatan tawuran yang dilakukan, KPAI
lebih menyudutkan ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan
tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA)
Pasal 26 Ayat 1 telah menegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung
jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara, mendidik,
melindungi, maupun mengembangkan bakat anak.
Hal ini diperparah dengan ketidakmampuan
lingkungan sekitar untuk memberikan kontrol secara sosial berbasis lingkungan
terhadap anak yang tinggal di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. Manggarai
sering terjadi tawuran yang sudah berangsur sejak lama sehingga menjadikan
tawuran sebagai penyimpangan sosial. Konstruksi lain juga turut ditunjukan oleh
aparat kepolisian. Tindakan tawuran dinilai sebagai penyimpangan sosial dan
hingga taraf tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan terutama yang kerap
terjadi di wilayah Manggarai dan sekitarnya. Hal ini terbukti dari terdapatnya
beberapa pelaku tawuran yang kerap diamankan oleh aparat kepolisian. Berikut
deretan kejadian penangkapan para pelaku tawuran oleh aparat kepolisian dalam
satu tahun terakhir antara lain :
1. Personel Polres Metro
Jakarta Selatan melakukan penangkapan terhadap 13 orang pelaku tawuran di
wilayah Manggarai Jakarta Selatan pada 19 September 2019 dimana diantara pelaku
juga positif menggunakan narkoba (Sinar Harapan, 2019);
2. Pelaku tawuran yang
ditangkap atas insiden tawuran pada 30 oktober 2019 yang terbukti membawa
senjata tajam, melakukan perusakan terhadap fasilitas umum, dan provokator
tawuran (Prireza, 2019);
3. Jajaran Polres Metro
Jakarta Selatan melalui tim Eagle One kembali menangkap dua pelaku tawuran yang
terjadi di Manggarai (Walda, 2019);
4. Polsek Metro Menteng
kembali melakukan penangkapan terhadap lima pelaku tawuran antara warga
Manggarai dan Menteng Tenggulun (Movanita, 2020);
5. Polsek Metro Menteng
menangkap Luthfi alias Upy diduga sebagai otak utama dalam video viral tawuran
pada akhir April lalu di kawasan Stasiun Manggarai (Kristianti, 2020).
Selain itu aparat kepolisian juga membentuk tim
gabungan dalam rangka mengantisipasi tawuran Manggarai terulang dibeberapa
titik di lokasi yang kerap rentan seperti di wilayah Zwembath, Tuyul, dan pintu
masuk Tenggulun. Aparat gabungan selalu melakukan penjagaan ketat serta
penyisiran ke dalam kampung-kampung di sekitaran Manggarai setiap malamnya
selama enam bulan terakhir.
Perspektif tawuran sebagai tindak pidana juga
masuk ke dalam rekonstruksi dalam negara. Hal ini terbukti dari berbagai aturan
yang mengatur sanksi bagi para pelaku tawuran yang terdapat pada undang-undang
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berikut pasal-pasal yang kerap
menjerat para pelaku tawuran: Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, Pasal 351
tentang Penganiayaan, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 358
tentang penganiayaan, Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1951 tentang Senjata Tajam “budaya” bagi masyakat sekitar.
Beberapa alasan mendasar mengapa masyarakat di
wilayah Manggarai melakukan aksi kekerasan berupa tawuran disebabkan oleh
banyaknya pengangguran, minimnya pendidikan, serta desakan ekonomi yang
menyebabkan gesekan-gesekan kecil menjadi hal yang besar. Alasan utamanya
adalah permasalahan terkait pekerjaan. Latar belakang yang tidak memungkinkan
masyarakat sekitar untuk bekerja secara formal menyebabkan mereka memilih kerja
serabutan seperti penjagaan lahan parkir. Kuantitas masyarakat yang tinggi
namun dihadapkan dengan peluang kerja yang minim menyebabkan terjadinya pergesekan
antar wilayah. Masalah ekonomi akhirnya menjadi permasalahan mendasar yang
melatarbelakangi hadirnya fenomena tawuran di wilayah Manggarai. Adanya
interaksi-interaksi serta lepasnya kontrol sosial di daerah tersebut menjadikan
tawuran sebagai produk dari “budaya” kekerasan di Manggarai.
Terdapat berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengehentikan aksi tawuran di Manggarai contohnya adalah Ikrar Damai. Hal ini
telah dilakukan sebanyak tiga kali, mulai dari aparat kepolisian, kelurahan,
atau tokoh masyarakat setempat. Meski demikian kegiatan tersebut hanya menjadi
wacana semata. Ketiadaan sanksi yang diberikan dinilai tidak tegas dan tidak
memberikan efek jera kepada keseluruhan masyarakat saat tawuran kembali
terjadi. Ikrar Damai hanya dinilai sebagai tindakan formalitas saja karena
“anak-anak muda” di daerah yang sering terlibat tawuran tidak menginginkan
perdamaian. Tawuran telah menjadi ajang bagi mereka untuk menunjukan kekuatan
antar kampung.
Kekerasan kolektif berupa tawuran telah dinilai
sebagai cara bagi mereka untuk berkomunikasi dan menanamkan budaya kekerasan di
wilayah tempat tinggal mereka. Masyarakat yang tinggal di wilayah Manggarai
tidak memaknai tawuran sebagai tindak kejahatan sehingga menyebabkan berbagai
upaya perdamaian gagal dilakukan dan fenomena tawuran masih berlanjut hingga
saat ini. Pemaknaan bagi para pelaku, tawuran bukan hanya sebagai aksi saling
serang saja. Terdapat makna lain yang tersirat di dalamnya berupa
“kenang-kenangan dari sebuah perjuangan membela kampung”. Sedangkan
keterlibatan anak-anak dalam aksi tawuran tidak menaruh kekhawatiran yang
berlebih bagi orang tua mereka karena hanya dianggap sebagai tindakan untuk
membela diri dan membela kampung. Dengan kata lain tawuran di Manggarai dan
sekitarnya telah menjadi sebuah “produk” dari budaya setempat sehingga baik
anak, dewasa, atau orang tua merupakan bagian dari aktor yang menghasilkan
subkultur budaya tawuran di wilayah tersebut
Dapat disimpulkan bahwa fenomena tawuran yang
terjadi di wilayah Manggarai dan sekitarnya adalah budaya kekerasan yang telah
melekat pada masyarakat setempat. Tawuran telah menjadi sebuah tradisi turun
temurun antar generasi di wilayah tersebut. Pemaknaan tawuran yang diyakini
oleh para pelaku dinilai sebagai tradisi yang dilandasi oleh tingginya rasa
solidaritas dalam komunitas masyarakat setempat. Tawuran di wilayah Manggarai
merupakan subkultur kekerasan yang tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut.
Tawuran merupakan sebuah kegiatan yang sering kali dipandang sebagai hal yang
wajar menurut masyarakat Manggarai. Penggunaan kekerasan, senjata tajam, bahkan
kerap merusak fasilitas menjadi hal yang lumrah terjadi ketika tawuran
berlangsung. Dalam kriminologi tawuran juga disebut dengan istilah kekerasan
kolektif.
Para pelaku tawuran kerap berkonflik karena aksi
saling serang seperti pelemparan batu ke perkampungan warga kesalahpahaman
warga serta aksi untuk menunjukan eksistensi diri. Para pelaku tawuran tidak
hanya berasal dari wilayah Manggarai tetapi juga terdapat di wilayah sekitarnya
yakni Menteng, Tenggulun, dan Pasar Rumput. yang dikenal sebagai musuh
bebuyutan Manggarai. Tawuran yang terjadi tidak pernah usai karena dilandasi
oleh aksi balas dendam antar kampung. Aksi solidaritas yang tinggi membuat
masyarakat setempat secara kolektif turut membela kampung.
Proses anak mengikuti tawuran dimulai dari
mengamati orang yang lebih dewasa dalam aksi ketika tawuran. Anak menjadi
berani untuk mengikuti tawuran karena dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Walaupun partisipasi anak biasanya diawali oleh kegiatan yang ringan seperti
mengumpulkan batu untuk penyerangan saja. Para pelaku enggan memaknai tawuran
sebagai tindak kejahatan karena mereka melakukan tawuran untuk membela harga
diri dan membela kampung. Alasan ini digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai
pembelaan dan pembenaran ketika mereka melakukan tawuran. Mereka menyadari aksi
tawuran yang mereka lakukan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan
tawuran khususnya di wilayah Manggarai dan sekitarnya mulai dari pembuatan pos
penjagaan, sanksi berupa pencabutan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
dan KJP (Kartu Jakarta Pintar), serta Ikrar Damai yang telah dilakukan sebanyak
tiga kali. Tetapi upaya yang telah dilakukan masih sangat kurang efektif karena
sampai saat ini tawuran kerap terulang kembali.
Nailufar, N. N. (2017). “Lima Pelajar SMK
Ditangkap Usai Tawuran yang Tewaskan 2 Remaja”. Kompas, 12 Agustus.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/08/12/15222441/lima-pelajarsmk-ditangkap-usai-tawuran-yang-tewaskan-2-remaja
(diakses 06 November 2023).
Sinar Harapan (2019). “Polisi Tangkap 13 Pelaku
Tawuran di Manggarai”, 6 September.
Https://www.sinarharapan.co/metropolitan/pr3852808726/Polisi-Tangkap-13-Pelaku-Tawuran-di
Manggarai (diakses 06 November 2023).
Clinard, M., & Quinney, R. (1967). Criminal
behavior systems: A typology. New York: Holt, Rhinehart & Winston Inc.
Darmawan, M. Kemal. 2022. Teori Kriminologi Edisi
Ke-3. Banten. Universitas Terbuka.
Comments
Post a Comment