Skip to main content

Analisis Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat

  1.     Analisis Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Jelaskan bagaimana hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh hukum Indonesia. Apa saja ketentuan hukum yang melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan? Jawab: Hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh hukum Indonesia melalui: a.     Konstitusi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. b.     Undang-undang Pemerintah telah mengeluarkan berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur hukum adat, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). c.     Pengadilan adat Beberapa wilayah di Indonesia memiliki pengadilan adat atau lembaga hukum adat yang ditunjuk oleh pemerintah. d.     Reformasi hukum...

PRAKTEK-PRAKTEK BUDAYA YANG LAZIM DILAKUKAN OLEH STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA, YANG MELANGGENGKAN PRAKTEK-PRAKTEK KORUPSI




Korupsi masih menjadi problem di negara-negara berkembang hingga saat ini. Korupsi memang sudah menjadi budaya di negara-negara berkembang dan sangat sulit diberantas. Untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata juga sangat banyak hambatannya. Sehingga bagaimanapun kerasnya  usaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara ternyata korupsi juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan. Bahkan bisa dinyatakan bahwa korupsi tidak akan pernah bias untuk dihilangkan.

 

Sejarah korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal relasi sosial berbasis

uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, semakin canggih pula pola dan model korupsi.

 

Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang

dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan social masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu  memperhatikan continuity and change.

 

Onghokham (1983) telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana

menurut dia fenomena korupsi telah ada  sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/ kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya pembangunan yang massif

yang menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian inheren bagi hampir semua negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat melalui rezim Developmentalist (Uhar Suharsaputra, , akses 23 Juli 2013).

 

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat

peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

 

Analisa yang lebih detil tentang aspek penyebab budaya korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi,” antara lain :(Masyarakat Transparansi Indonesia, http://www.transparansi.or.id/tentang/anti-korupsi/, akses 23 Juli 2013).

 

1.    Aspek Individu Pelaku

a.    Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. 

b.    Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.  Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

c.    Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

 

d.    Kebutuhan hidup yang mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

e.    Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendoronggaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

f.     Malas atau tidak mau kerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya korupsi.

g.    Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam  bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

 

2.    Aspek Organisasi

a.    Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

b.    Tidak adanya kultur organisasi yang benar

ultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi

c.    Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

 

d.    Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi  dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

e.    Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh  segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

 

3.    Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

a.    Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi

Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaannya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

b.    Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi.

Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu  masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

c.    Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.

Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka namun tidak disadari.

d.    Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.

Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

e.    Aspek peraturan perundang-undangan

Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

 

Hal penting yang dapat ditarik dari budaya korupsi yang terus menerus berkembang di Indonesia antara lain, karena: kekuasaan yang terbatas di tingkat atas, tidak ada kemauan di tingkat atas untuk memberantas korupsi, janji-janji yang muluk dan ambisius sehingga menimbulkan harapan yang tidak realistis dan hilangnya kepercayaan publik, upaya-upaya perubahan sepotong-sepotong dan tidak terkoordinasikan  sehingga tidak ada pemilik upaya-upaya itu dan tidak ada yang mau bertanggungjawab untuk memastikan bahwa upaya-upaya itu benar-benar dilakukan dan terus ditingkatkan, upaya-upaya perubahan yang terlalu mengandalkan diri pada hukum atau upaya penegakan hukum, upaya-upaya perubahan yang mengabaikan korupsi di tingkat atas dan hanya memusatkan diri pada korupsi kelas teri, kegagalan membentuk mekanisme kelembagaan yang tetap dapat bekerja baik setelah para pembaharu anti korupsi sudah tidak ada lagi, serta kegagalan pemerintah melibatkan masyarakat sipil dan sector swasta ke dalam proses formal.

  

Darmawan, M. Kemal. 2022. Teori Kriminologi Edisi Ke-3. Banten. Universitas Terbuka.

Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang:Bayumedia.

Adnan Buyung Nasution, dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Yogyakarta. Aditya Media.

Denny Indrayana. 2008. Negeri Para Mafioso, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Edi Setiadi&Rena Yulia. 2010. Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jur Andi Hamzah. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta:Sinar Grafika.

Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, H. Lindsey Parris. 2005.Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Syed Husein Alatas. 1983.Sosiologi Korupsi. Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer,

Jakarta:LP3ES.

Comments

Popular posts from this blog

SISTEM PENGGAJIAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap organisasi khususnya perusahaan memerlukan data yang bersifat riil dari setiap tingkatan manajemennya. Data tersebut disusun dan dikelola dalam sebuah sistem informasi. Salah satu sistem informasi terpenting pada perusahaan adalah Sistem Informasi Sumber Daya Manusia/Human Resourches Information System (SISDM/HRIS). Setiap perusahaan besar pastilah memiliki sistem informasi sumber daya manusia (human resource information system) dan juga Sistem Penggajiannya. Sistem sumber daya manusia membantu bisnis dalam mengembangkan susunan kebutuhan kepegawaian, mengidentifikasi potensi- potensi karyawan baru, menyimpan arsip karyawan, menjejaki pelatihan, keterampilan, dan prestasi kerja karyawan, dan membantu para manajer mengembangkan rencana yang sesuai dengan kompensasi dan pengembangan karir karyawan. Sistem perusahaan dapat membantu bisnis untuk mengkoordinasi susunan kepegawaian mereka dengan aktivitas produksi dan penjualan dan sumber...

Metode Simple Additive Weighting (SAW)

Konsep dasar metode Simple Additive Weighting (SAW) adalah mencari hasil terbaik dari proses normalisasi sesuai dengan persamaan (rumus) Simple Additive Weighting (SAW) dengan kriteria yang ada pada setiap alternatif untuk ditentukan alternatif terbaik. Persamaan (rumus) untuk melakukan normalisasi tersebut adalah sebagai berikut :   Dimana rij adalah rating kinerja ternormalisasi dari alternative A 1 pada atribut C j ; i=1,2,……,m dan j=1,2,……,n. nilai preferensi untuk setiap alternatif (V i ) diberikan sebagai : Keterangan : Vi        = rangking setiap alternatif. Wj       = nilai bobot dari setiap kriteria Rij        = nilai rating kinerja ternormalisasi Nilai Vi yang lebih besar mengindikasikan bahwa alternatif Ai lebih terpilih.     Kelebihan dari   Metode SAW 1.       Menentukan nilai bobot untuk setiap atribut ...

MODEL-MODEL-PENGEMBANGAN-PERANGKAT-LUNAK

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Pengembangan sistem informasi dalam kurun waktu kini sungguh sangat pesat. Di hampir setiap perusahaan selalu melakukan perbaikan, inovasi, dan evaluasi terhadap sistem informasi yang ada di dalam perusahaan tersebut, agar selalu mendukung bisnis-bisnis yang mereka jalankan.Dengan memanfaatkan kemampuan dari sistem informasi, diharapkan perkembangan bisnis semakin maju dan dapat menaikkan pendapatan dari perusahaan. Pengembangan perangkat lunak dapat diartikan sebagai proses membuat suatu perangkat lunak baru untuk menggantikan perangkat lunak lama secara keseluruhan atau memperbaiki perangkat lunak yang telah ada. Agar lebih cepat dan tepat dalam mendeskripsikan solusi dan mengembangkan perangkat lunak, juga hasilnya mudah dikembangkan dan dipelihara, maka pengembangan perangkat lunak memerlukan suatu metodologi khusus. Metodologi pengembangan perangkat ...